Bintan – Maraknya aktivitas tambang pasir ilegal di Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, mengindikasikan lemahnya tata kelola dan pengawasan sumber daya alam di tingkat daerah. Aktivitas penambangan tanpa izin yang terus berlangsung, meski telah menjadi sorotan publik dan aparat penegak hukum, memperlihatkan adanya persoalan struktural dalam sistem kontrol pemerintahan daerah, Selasa(21/10/2025).
Media Gennews.id telah berupaya melakukan konfirmasi dan meminta penjelasan resmi dari Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bintan, Ronny Kartika terkait langkah strategis pemerintah daerah dalam menertibkan aktivitas tambang pasir ilegal tersebut. Konfirmasi dilakukan pada Senin, 20 Oktober 2025 pukul 10.55 WIB melalui pesan singkat WhatsApp. Namun hingga berita ini diterbitkan, Sekda Bintan tidak memberikan tanggapan maupun klarifikasi resmi.
Ketiadaan respons dari pejabat administratif tertinggi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bintan tersebut menimbulkan pertanyaan publik mengenai komitmen dan transparansi pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pengawasan, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 67 huruf b dan c yang menegaskan kewajiban kepala daerah dan perangkatnya untuk menaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjaga etika penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).
Selain itu, tanggung jawab pemerintah daerah dalam perlindungan lingkungan hidup telah diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terutama Pasal 63 ayat (2) huruf d dan huruf f, yang menyatakan bahwa pemerintah kabupaten/kota berwenang melakukan pembinaan, pengawasan, dan penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan di wilayahnya.
Ketiadaan tanggapan atau klarifikasi resmi dari pejabat publik dalam isu yang menyangkut kepentingan umum dapat ditafsirkan sebagai bentuk non-respons administratif (administrative silence), yang dalam teori tata kelola pemerintahan modern merupakan indikasi lemahnya akuntabilitas dan keterbukaan informasi publik. Dalam konteks etika birokrasi, tindakan diam (omission) pejabat terhadap persoalan publik dapat menimbulkan implikasi etik, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, khususnya Pasal 10 ayat (2) mengenai kewajiban ASN menjaga integritas dan kepercayaan publik.
Dalam pandangan Dr. Azmi Syahputra, S.H., M.H., pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, penegakan hukum atas tambang ilegal di berbagai daerah, termasuk Bintan, sering kali hanya menyentuh pelaku lapangan, bukan aktor intelektual dan pemodal di baliknya.
“Fenomena hukum tambang ilegal di Indonesia cenderung berhenti di permukaan. Aparat sering menindak operator alat berat, sopir, atau penggali, sementara pemodal, penadah, atau pihak yang memfasilitasi perizinan semu justru luput dari jerat hukum,” ujarnya kepada Gennews.id, Sabtu(18/10) lalu.
Dr. Azmi menegaskan, seharusnya aparat dan pemerintah daerah menerapkan pertanggungjawaban pidana korporasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 116 dan 118 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, serta Pasal 161A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, yang menegaskan bahwa setiap orang atau badan usaha yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dikenai sanksi pidana.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa apabila ditemukan aliran dana hasil tambang ilegal, maka dapat digunakan instrumen Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk menelusuri dan menjerat penerima atau penikmat hasil kejahatan tersebut. Bila melibatkan oknum aparat atau pejabat publik, maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat diterapkan melalui Pasal 12 huruf a, b, dan e terkait gratifikasi, suap, dan pemerasan.
“Kepala daerah dan jajarannya tidak dapat melepaskan tanggung jawab hukum bila secara sadar membiarkan kegiatan tambang tanpa izin berlangsung di wilayahnya. Itu termasuk pembiaran yang disengaja sebagaimana diatur dalam Pasal 165 KUHP,” tegasnya.
Sementara di lapangan, aktivitas tambang pasir ilegal di sejumlah titik di Bintan disebut masih terus berlangsung dengan berbagai dalih, mulai dari kebutuhan ekonomi lokal hingga pembangunan infrastruktur. Namun tanpa izin resmi dan pengawasan lingkungan yang ketat, kegiatan tersebut berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem pesisir, mempercepat abrasi, dan menurunkan daya dukung lingkungan hidup masyarakat sekitar.
Ketiadaan tanggapan dari Pemerintah Kabupaten Bintan, khususnya Sekda sebagai koordinator administratif dan pengendali kebijakan lintas sektor, memperkuat sorotan terhadap lemahnya akuntabilitas institusional dan transparansi publik dalam pengelolaan sumber daya alam di daerah tersebut. (Reza)













