Bintan – Hasil investigasi media Gennews.id terkait maraknya aktivitas penambangan pasir ilegal di Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau(Kepri) menyingkap rantai praktik yang melibatkan banyak pihak, mulai dari pekerja lapangan hingga dugaan peran pemodal dan korporasi di baliknya, Sabtu (18/10/2025).

Pakar hukum ahli pidana, Dr. Azmi Syahputra, S.H., M.H., Sumber Foto: google.com
Menanggapi temuan tersebut, Dr. Azmi Syahputra, S.H., M.H., pakar hukum ahli pidana, menilai bahwa pola penegakan hukum di lapangan masih berhenti di permukaan dan belum menyentuh aktor utama di balik aktivitas ilegal tersebut.
“Mengapa hukum tambang ilegal sering berhenti di pekerja lapangan? Karena penegakan hukum sering berhenti di level kasat mata, penyidik enggan memperluas penyelidikannya, bukan pada arus kendali. Jadi pekerja tambang (operator alat, sopir, penggali) mudah ditangkap dan dijadikan tumbal hukum, karena mereka cenderung terlihat sebagai pelaku faktual di lapangan. Sementara aktor intelektual bersembunyi di balik rantai perizinan, bendera perusahaan, atau afiliasi politik termasuk jika ada oknum aparat penegak hukum,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan whatsapp Dr. Azmi kepada media gennews.id.
Menurutnya, fenomena yang terlihat di Kabupaten Bintan menunjukkan bahwa pekerja di lapangan hanyalah bagian paling bawah dari sistem kejahatan korporatif yang bersifat sistemik. Karena itu, aparat penegak hukum perlu memperluas penyelidikan dan tidak berhenti pada pelaku faktual semata.
Bagaimana pemodal, penadah, dan korporasi bisa dijerat pidana? Jika penyelidikan diperluas dan berani membuka tabir pelaku hingga tuntas, aparat penegak hukum dapat menggunakan teori pertanggungjawaban pidana korporasi. Jika siapapun masuk dalam delik penyertaan, tarik sebagai pelaku kejahatan (Vide Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), khususnya Pasal 161, Pasal 161A, dan Pasal 162, dapat digunakan.
Begitu pula Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya Pasal 116 dan Pasal 118, di mana diketahui badan hukum atau korporasi pun dapat dipidana bila tindak pidana dilakukan atas nama atau untuk kepentingan korporasi.
Termasuk, “Jika perlu pergunakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk menjerat siapa penerima atau pihak yang mempergunakan aliran dana hasil tambang ilegal yang disamarkan,” jelasnya.
Lebih lanjut, Dr. Azmi menekankan bahwa pemodal dapat dijerat sebagai pelaku intelektual kejahatan, sedangkan penadah termasuk pelaku pasca (after the fact) karena menikmati hasil kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 480 KUHP.
Jika ditemukan adanya aliran dana kepada oknum aparat, katanya, maka instrumen hukum yang relevan dapat ditemukan dalam undang-undang tindak pidana korupsi.
“Bila ada aliran dana ke oknum aparat, pasal apa yang bisa digunakan? Dapat diterapkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, mengacu pada Pasal 12 huruf a, huruf b, dan huruf e tentang gratifikasi, suap, dan pemerasan oleh pejabat publik,” tegasnya.
Selain itu, Dr. Azmi mengingatkan bahwa kepala daerah pun tidak dapat lepas dari tanggung jawab hukum bila secara sadar membiarkan kegiatan pertambangan ilegal berlangsung di wilayahnya.
“Kepala daerah dapat dimintai tanggung jawab baik secara pidana maupun administratif, bila secara sadar mengetahui dan membiarkan terjadinya aktivitas tanpa izin (Pasal 165 KUHP, pembiaran yang disengaja); atau lalai melakukan pengawasan (maladministrasi – cek kewajibannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara maupun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah). Bahkan,jika ada fakta yang dapat dibuktikan adanya dugaan kolusi aparat dengan penegak hukum dengan cara bila ada perbuatan dengan peran jabatan dan kewenangannya memfasilitasi atau menerima manfaat, bisa dijerat Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 dan Pasal 3,” paparnya.
Sebagai langkah strategis agar penegakan hukum tidak berhenti pada pelaku kecil, Dr. Azmi merekomendasikan pembentukan tim gabungan lintas lembaga yang melibatkan KPK, PPATK, Kejaksaan, Polri, Kementerian ESDM, dan Pemerintah Daerah.
“Langkah dan strategi agar penegakan hukum menyentuh aktor utama: ini hal esensial, karenanya segera bentuk tim gabungan (KPK, PPATK, Kejaksaan, Polri, Kementerian ESDM, Pemerintahan Daerah) agar lintas lembaga bisa menembus patron pihak yang memodali dan back up untuk menguasai area tambang ilegal. Lebih lanjut,diperlukan peran aparat penegak hukum yang tegas, berani, dan sinergitas dengan pemerintahan setempat untuk terapkan follow the money approach, lacak arus dana dari hasil praktik tambang ilegal. Gunakan pendekatan pencegahan sistemik: audit semua izin tambang, buka posko pengaduan serta terapkan penegakan berbasis korporasi, bukan individu semata, serta pastikan perlindungan whistleblower guna melindungi saksi pelapor karena takut atau dimatikan aksesnya.” terangnya.
Pakar hukum dari Universitas Trisakti tersebut menegaskan bahwa hasil investigasi media seharusnya menjadi pintu masuk penegakan hukum yang lebih luas, bukan berhenti pada pekerja lapangan. Ia menilai, selama penindakan tidak menyentuh struktur keuangan dan jejaring politik di balik tambang ilegal, maka praktik ini akan terus berulang di berbagai daerah. (Reza)













